BIOETANOL
(Bio)Etanol telah digunakan manusia sejak zaman prasejarah sebagai bahan
pemabuk dalam minuman beralkohol. Residu yang ditemukan pada
peninggalan keramik yang berumur 9000 tahun dari China bagian utara
menunjukkan bahwa minuman beralkohol telah digunakan oleh manusia
prasejarah dari masa Neolitik.
Campuran dari (Bio)etanol yang mendekati kemrunian untuk pertama kali
ditemukan oleh Kimiawan Muslim yang mengembangkan proses distilasi pada
masa Kalifah Abbasid dengan peneliti yang terkenal waktu itu adalah
Jabir ibn Hayyan (Geber), Al-Kindi (Alkindus) dan al-Razi (Rhazes).
Catatan yang disusun oleh Jabir ibn Hayyan (721-815) menyebutkan bahwa
uap dari wine yang mendidih mudah terbakar. Al-Kindi (801-873) dengan
tegas menjelaskan tentang proses distilasi wine. Sedangkan (Bio)etanol
absolut didapatkan pada tahun 1796 oleh Johann Tobias Lowitz, dengan
menggunakan distilasi saringan arang.
Antoine Lavoisier menggambarkan bahwa (Bio)etanol adalah senyawa yang
terbentuk dari karbon, hidrogen dan oksigen. Pada tahun 1808
Nicolas-Théodore de Saussure dapat menentukan rumus kimia etanol.
Limapuluh tahun kemudian (1858), Archibald Scott Couper menerbitkan
rumus bangun etanol. Dengan demikian etanol adalah salah satu senyawa
kimia yang pertama kali ditemukan rumus bangunnya. Etanol pertama kali
dibuat secara sintetis pada tahu 1829 di Inggris oleh Henry Hennel dan
S.G.Serullas di Perancis. Michael Faraday membuat etanol dengan
menggunakan hidrasi katalis asam pada etilen pada tahun 1982 yang
digunakan pada proses produksi etanol sintetis hingga saat ini.
Pada tahun 1840 etanol menjadi bahan bakar lampu di Amerika Serikat,
pada tahun 1880-an Henry Ford membuat mobil quadrycycle dan sejak tahun
1908 mobil Ford model T telah dapat menggunakan (bio)etanol sebagai
bahan bakarnya. Namun pada tahun 1920an bahan bakar dari petroleum yang
harganya lebih murah telah menjadi dominan menyebabkan etanol kurang
mendapatkan perhatian. Akhir-akhir ini, dengan meningkatnya harga minyak
bumi, bioetanol kembali mendapatkan perhatian dan telah menjadi
alternatif energi yang terus dikembangkan.
Bioetanol, Etanol, Alkohol
Etanol disebut juga etil-alkohol atau alkohol saja, adalah alkohol yang
paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari, hal ini disebabkan
karena memang etanol yang digunakan sebagai bahan dasar pada minuman
tersebut, bukan metanol, atau grup alkohol lainnya. Sedangkan bioetanol
adalah etanol (alkohol yang paling dikenal masyarakat) yang dibuat
dengan fermentasi yang membutuhkan faktor biologis untuk prosesnya.
Sebenarnya alkohol dalam ilmu kimia memiliki pengertian yang lebih luas
lagi. Jadi untuk seterusnya, dalam tulisan ini penggunaan istilah
alkohol tidak akan digunakan lagi untuk menghilangkan ambiguitas.
Rumus Kimia
(Bio)Etanol sering ditulis dengan rumus EtOH. Rumus molekul etanol
adalah C2H5OH atau rumus empiris C2H6O atau rumus bangunnya CH3-CH2-OH.
(Bio)Etanol merupakan bagian dari kelompok metil (CH3-) yang terangkai
pada kelompok metilen (-CH2-) dan terangkai dengan kelompok hidroksil
(-OH). Secara umum akronim dari (Bio)Etanol adalah EtOH (Ethyl-(OH))
Proses produksi
Langkah dasar yang dibutuhkan untuk memproduksi etanol adalah fermentasi jamur khamir, distilasi, dehidrasi, dan denaturasi. Sebelum dilakukan fermentasi, beberapa tanaman membutuhkan hidrolisis karbohidrat seperti selulosa dan amilum menjadi gula. Hidrolisis selulosa disebut sebagai selulosis. Enzim digunakan untuk mengubah amilum menjadi gula.
- Fermentasi
Etanol diproduksi dengan cara fermentasi mikroba pada gula. Fermentasi mikroba saat ini hanya bisa dilakukan langsung pada gula. 2 komponen utama dalam tanaman, amilum dan selulosa,
dua-duanya terdiri dari gula dan bisa diubah menjadi gula melalui
fermentasi. Sekarang ini, hanya gula (contohnya tebu) dan amilum
(contohnya jagung) yang masih bernilai ekonomis jika dikonversi.
- Distilasi
Jika etanol ingin digunakan sebagai bahan bakar, maka sebagian besar kandungan airnya harus dihilangkan dengan cara distilasi.
Tingkat kemurnian etanol setelah didistilasi masih sekitar 95-96%.
(masih ada kandungan airnya 3-4%). Campuran ini dinamakan etanol hidrat
dan bisa digunakan sebagai bahan bakar, tapi tidak bisa dicampur sama
sekali dengan bensin. Jadi, biasanya kandungan air dalam etanol hidrat
dibuang habis terlebih dahulu dengan pengolahan lainnya sehingga baru
bisa dicampurkan dengan bensin.
- Dehidrasi
Pada dasarnya ada 5 tahap proses dehidrasi untuk membuang kandungan air dalam campuran etanol azeotropik (etanol 95-96%). Proses yang pertama, yang sudah digunakan di banyak pabrik etanol sejak dulu, adalah proses yang disebut distilasi azeotropik. Distilasi azeotropik dilakukan dengan cara menambahkan benzena atau sikloheksana
ke dalam campuran. Ketika zat ini ditambahkan, maka akan membentuk
campuran azeotropik heterogen. Hasil akhirnya nanti adalah etanol
anhidrat dan campuran uap dari air dan sikloheksana/benzena. Ketika
dikondensasi, uap ini akan menjadi cairan. Metode lama lainnya yang
digunakan adalah distilasi ekstraktif.
Metode ini digunakan dengan cara menambahkan komponen terner dalam
etanol hidrat sehingga akan meningkatkan ketidakstabilan relatif etanol
tersebut. Ketika campuran terner ini nantinya didistilasi, maka akan
menghasilkan etanol anhidrat.
Saat ini penelitian juga sedang mengembangkan metode pemurnian etanol
dengan menghemat energi. Metode yang saat ini berkembang dan mulai
banyak digunakan oleh pabrik-pabrik pembuatan etanol adalah penggunaan saringan molekul
untuk membuang air dari etanol. Dalam proses ini, uap etanol bertekanan
melewati semacam tatakan yang terdiri dari butiran saringan molekul.
Pori-pori dari dari saringan ini dirancang untuk menyerap air. Setelah
beberapa waktu, saringan ini pun divakum untuk menghilangkan kandungan
air di dalamnya. 2 tatakan biasanya digunakan sekaligus sehingga ketika
satu sedang dikeringkan, yang satunya bisa dipakai untuk menyaring
etanol. Teknologi dehidrasi ini diperkirakan dapat menghemat energi
sebesar 3.000 btus/gallon (840 kJ/L) jika dibandingkan dengan distilasi azeotropik.
Penggunaan
Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar kendaraan bermotor bervariasi antara blend
hingga bioetanol murni. Bioetanol sering disebut dengan notasi “Ex”,
dimana x adalah persentase kandungan bioetanol dalam bahan bakar.
Beberapa contoh penggunaan notasi “Ex” antara lain:
- E100, bioetanol 100% atau tanpa campuran
- E85, campuran 85% bioetanol dan bensin 15%
- E5, campuran 5% bioetanol dan bensin 95%
Pertamina
telah menjual biopremium (E5) yang mengandung bioetanol 5% dan premium
95%. Bahan bakar E5 dapat digunakan pada kendaraan yang menggunakan
bensin (gasoline) standar, tanpa modifikasi apapun. Namun, bahan
bakar E15 ke atas atau persentase bioetanol lebih dari 15% harus
memanfaatkan kendaraan dengan tipe Flexible-Fuel Vehicle. Brazil
sebagai salah satu negara yang menggunakan bioetanol terbesar di dunia,
telah mengadopsi bahan bakar E100, dimana kandungan bioetanol 100%.
Bioetanol dengan kandungan 100% memiliki nilai oktan (octane)
RON 116 – 129, yang relatif lebih tinggi dibandingkan bahan bakar
premium dengan nilai oktan RON 88. Karena nilai oktan yang tinggi,
bioetanol dapat digunakan sebagai pendongkrak oktan (octane booster)
untuk bahan bakar beroktan rendah. Nilai oktan yang lebih tinggi pada
bioetanol juga berpengaruh positif terhadap efisiensi dan daya mesin.
Penggunaan bahan bakar E10 dan E20 memiliki performa (power dan force) yang lebih baik untuk mesin, seperti tercantum dalam tabel pengujian berikut:
Sayangnya untuk menghasilkan power dan force yang lebih tinggi, dibutuhkan bahan bakar E20 dalam jumlah lebih banyak per jam relatif terhadap Pertamax. Untuk nilai fuel consumption / power
bahan bakar pertamax memberikan hasil yang terbaik diikuti oleh E20 dan
E10. Secara umum, pencampuran premium dengan bioetanol memberikan
dampak yang baik bagi performa mesin.
Emisi
Penggunaan bioetanol juga
mampu mengurangi emisi gas beracun (CO dan HC) yang umum ditemukan pada
pembakaran bensin. Hal tersebut disebabkan oleh air-fuel ratio
yang lebih baik pada bioetanol sehingga menyebabkan pembakaran bahan
bakar yang lebih sempurna. Namun sayangnya justru emisi NOx lebih tinggi
dibandingkan pembakaran bahan bakar premium.
sumber: Reksowardojo, 2006
Selain emisi gas beracun, emisi karbon dioksida (greenhouse gas)
juga menjadi perhatian utama dalam pemilihan bahan bakar yang ramah
lingkungan. Pembakaran bioetanol E100 akan menghasilkan sekitar 1.5 kg
gas rumah kaca, sedangkan pembakaran 100% oktana (octane) menghasilkan sekitar 2.1 kg gas rumah kaca. Menurut data EPA (Environmental Protection Agency) pembakaran 1 Liter bensin akan menghasilkan sekitar 2.3 kg gas karbon dioksida.
Daftar emisi karbon dioksida pada pembakaran bahan bakar secara sempurna diringkas sebagai berikut:
sumber: Panji Tri Atmojo, 2010
Dalam
bentuk persentase, pembakaran bioetanol (E100) mengurangi sekitar 45%
emisi karbon dioksida dibandingkan pembakaran oktana. Namun perbandingan
emisi pembakaran E10 terhadap oktana hanya menghasilkan penghematan
sekitar 4%, angka yang kurang signifikan untuk mengurangi efek gas rumah
kaca.
Sumber: Panji Tri Atmojo, 2010
No comments:
Post a Comment
Ayo, mana commentnya.
No Bad word, No Racism, No Flaming, No Trolling..
Just for fun..
Salam damai..Peace!!